Belajar dari Raksasa yang Limbung dan Terseok
Belajar dari Raksasa yang Limbung dan Terseok
Mengapa pemain lama dan established ini harus berguncang. Apakah sendi-sendi dan ‘kuda kuda’ mereka kurang kuat dan cekat untuk menghadapi serbuan lawan? Entahlah, yang jelas mereka goyah. Sudah banyak pakar dan kosultan besar yang menawarkan racikannya. Namun sejauh ini tidak cespleng.
Melihat Underlyng Culture
Saya menduga, salah satu hal yang menghambat mengapa hanya sedikit sekali perseroan yang bisa terus GPS (Grow Profit Solid) adalah tidak terbentuknya kultur organisasi yang kompatibel sejalan dengan tumbuh kembangnya perseroan. Ada 2 hal yang menyebabkan itu terjadi.
Pertama, tidak alerts dan absensi sense of urgency, dan kedua tidak ada nya shifting relevansi kultur terhadap strategi. Tidak alerts, sigap waspada terhadap perkembangan dan perubahan yang begitu cepat. Terutama dalam hal perkembangan teknologi, ekonomi, politik perdagangan (protokol globalisasi dll).
Driver perubahan besar ini akhirmya mengubah konstelasi bisnis dan preferensi konsumen. Dengan kata lain mereka tidak sigap ketika implikasi dari pergeseran besar yang sedang terjadi itu melibas competitiveness mereka.
Kalau pun mereka merasakan, tidak ada sense of urgency untuk segera melakukan tindakan proaktif premptif; tapi cenderung rilex dan berpikir everythis is just fine. Dan ketika kesadaran akan goncangan itu tiba, biasanya sudah amat terlambat, sudah dalam stadium akut. Dalam fase akut seperti ini transformasi sering kali kehabisan napas di tengah jalan. Yang ada hanya recovery salvage. Tragis.
Yang kedua adalah tidak merancang corporate culture yang sesuai dengan life cycle organisasi. Kultur tidak secara khusus di-desain, tetapi dibiarkan tumbuh by default. Mengapa begitu ? Kerena tidak mengangap kalau kultur itu secara praktek penting dan ada gunanya. Meskipun secara teoritis, berbagai jargon dan slogan indah digantung di dinding rapat.
Lihat saja, pola umum ini: pada fase awal ketika perseroan take off, cash flow tersedia banyak. Kultur manajemen masih konvensional dan manual. Segala sesuatu dikerjakan secara ringkas, tepat. Response cepat bak pemadam kebakaran.
Kelemahan dari kultur ala encek pasar baru ini adalah sistem dan administrasi kacau. Lalu diundanglah konsultan, dibuatkan sistem manajemen dan tata kelola yang baik. Semuanya kini mulai bergerak teratur. Sekarang jadi nyaman, sistem berkerja. Daya dukung pertumbuhan bertambah. Perseroan makin membesar. Birokrasi mulai rapi. Sistem interaksi yang hebat ini membuat banyak hal berjalan terpola alias semi otomatis. Hal ini amat penting. Tanpa system & good governance, perseroan tidak bisa berkembang maju.
Nah disinilah bahayanya kalau kultur seperti ini mulai tertanam lama, dan dibiarkan menjadi default setting. Terutama pada perseroan yang masuk life cycle mature. Saking enaknya, mereka lupa. Bisnis dijalankan bak birokrasi. Kegesitan dan spirit bisnis yang cekat: endus sana, bidik sini, tangkap situ, digantikan dengan ritual rutinitas, lalu tersedot kesibukan operational dan tenggelam kebiasaan. Kultur terjadi by default. Terlena hingga digulung ombak.
Upgrade Operating System.
Kebiasan alias kultur lama yang sudah default setting tersebut bisa diibaratkan seperti operating system dekade lalu. Beberapa orang masing senang memakainya. Mereka enggan migrasi sistem upgrade ke versi baru, apalagi ganti total system baru. Cilakanya system yang dipakai sudah ketinggalan zaman. Lemot dan tidak responsive. Ia kalah jauh dengan system yang dipakai tetangga pendatang baru.
Padahal pada fase established, perseroan perlu mendesain kultur secara sadar, kultur yang relevant dan bisa mensupport strategi yang mereka pilih. Kalau hal seperti ini tidak secara alert didesain konstruksinya, maka kultur yang ada tidak fit. Kultur, boro-boro menjadi oksigen penyegar organisasi, ia bak bau apek yang membuat mabok penghuninya.
Pikirkan saja implikasinya kalau keadaan sudah seperti itu: Strategi usang, habitatnya pun runyam, tapi masih harus ikut perang modern untuk bertahan hidup. Ini mirip- mirip serdadu tua yang kenyang pengalaman perang masa lampau, turun gunung membawa bambu runcing, mau ikut perang dunia baru basis digital. Anda tentu tau akhir skenario seperti itu. Blooding.
Pola permainan telah baru, tapi masih pakai strategi lama sebagai senjata andalan.
mana bisa menang, apalagi kulturnya apek.
Penulis
Hendrik Lim
Penulis buku New Games, News Response
CEO Defora Consulting
Komentar
Posting Komentar